Rabu, 31 Agustus 2011

Ya Allah, TerimalahAmalan Kami di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan akan berakhir.
Bulan penuh barokah akan meninggalkan kita.
Tidak ada yang yakin bisa bertemu dengan Ramadhan berikutnya.
Tidak ada yang yakin bisa dijumpakan lagi dengan bulan Al Qur’an.
Tidak ada yang yakin bisa bersua kembali dengan bulan yang begitu mudah untuk beramal.
Lihatlah bagaimanakah para salaf selalu berdo’a selama enam bulan untuk diperjumpakan kembali dengan bulan Ramadhan.
Mereka pun berdo’a di enam bulan lainnya agar amalan-amalan mereka diterima.[1]
Itulah kekhawatiran para salaf.
‘Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal.
Bukankah engkau mendengar firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Ma-idah: 27)”
Dari Fudholah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikan sebesar biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya, karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Ma-idah: 27)”
Ibnu Diinar mengatakan, “Tidak diterimanya amalan lebih ku khawatirkan daripada banyak beramal.”
Abdul Aziz bin Abi Rowwad berkata, “Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan mereka diterima ataukah tidak.”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz berkata tatkala beliau berkhutbah pada hari raya Idul Fithri,
“Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari.
Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya.
Kalian pun keluar dan memohon pada Allah agar amalan kalian diterima.
Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fithri.
Dikatakan  kepada mereka, “Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.”
Mereka malah mengatakan, “Kalian benar.
Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.”
Itulah kekhawatiran para salaf.
Mereka begitu khawatir kalau-kalau amalannya tidak diterima.
Namun berbeda dengan kita yang amalannya begitu sedikit dan sangat jauh dari amalan para salaf. Kita begitu “pede” dan yakin dengan diterimanya amalan kita.
Sungguh, teramatlah jauh kita dengan mereka.[2]

Keadaan seorang hamba di akhir Ramadhan, seharusnya penuh ampunan.
Az Zuhri berkata, “Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat ‘ied, Allah pun akan menyaksikan mereka.
Allah pun berfirman, “Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku.”
Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang,
“Hari ini suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.”[3]
Qotadah mengatakan, “Siapa saja yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain ia pun akan sulit diampuni.”[4]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Tatkala semakin banyak pengampunan dosa di bulan Ramadhan, maka siapa saja yang tidak mendapati pengampunan tersebut, sungguh dia telah terhalangi dari kebaikan yang banyak.”[5]

Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd.
Di penghujung bulan Ramadhan ini, hanyalah ampunan dan pembebasan dari siksa neraka yang kami harap-harap dari Allah yang Maha Pengampun.
Kami pun berharap semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan, walaupun kami rasa amalan kami begitu sedikit dan begitu banyak kekurangan di dalamnya.

Taqobbalallahu minna wa minkum (Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian).
Semoga Allah menjadi kita insan yang istiqomah dalam menjalankan ibadah selepas bulan Ramadhan.

Selamat ‘Idul Fithri 1432 H
Muhammad Abduh Tuasikal dan Keluarga
30 Ramadhan 1432 H
Di posting kembali oleh : qalam muslim



[1] Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 369
[2] Lihat Lathoif Al Ma’arif, 368-369.
[3] Lathoif Al Ma’arif, 366.
[4] Lathoif Al Ma’arif, 370-371.
[5] Lathoif Al Ma’arif, 371.
Senin, 29 Agustus 2011

Inilah Dunia (5)


Inilah kehidupan, tempat yang sangat indah, tapi tak kekal. Inilah aku, inilah saya. Makhluk yang berjuang menjalani hidup yang gemerlap ini. Merasa bahagia, sudah terbiasa, setiap hari ku bahagia mengingat-Nya. Merasa sedih, sudah terbiasa, melihat hati yang belum kunjung membaik.

Selalu saja ada suatu penghargaan yang kita banggakan. Padahal itu bersifat sementara dan dapat hilang serta direbut oleh orang lain. Aku mengerti kenapa ulama-ulama terdahulu tidak merasa bangga dengan ilmunya, ya.. mungkin bagi mereka, mereka belum mendapatkan harapan mereka yang sebenaranya. Bertemu dengan-Nya, berada di sisi-Nya.

Begitu pandai dunia menipu kita. Tetapi Alah swt tetap percaya kepada kita bahwa kita akan selalu mengingatnya. Jika kita tahu, sudah biasa Alah memberikan nikmat kepada hamba-hambanya yang taat kepada-Nya. Tetapi apakah biasa bahwa Allah tetap memberikan kenikmatan kepada yang durhaka kepada-Nya..?. Allah begitu sabar, Allah begitu yakin dan Allah begitu percaya kepada kita, bahwa kita akan mengingat-Nya kembali dan menyebutkan-Nya di bibir kita berupa ibadah dan dzikrullah.

Seharusnya kita malu, seharusnya kita bangga karena masih dan selalu diberi kepercayaan oleh yang menciptakan kita. Ingat kawan Dia masih menunggu, Dia masih menanti, Dia masih percaya bahwa di dalam hati kita masih ada cahaya yang akan menyinari hati dan tubuh kita dari kegelapan dunia..
Kita tidak hidup di zaman yang sulit, bahkan semua peralatan sudah canggih. Sudah banyak yang serba instan dan tidak perlu sudah payah untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi di sinilah masalahnya, kita terlalu terlena dengan kondisi ini.

Para nabi-nabi, sahabat-sahabatnya, ulama-ulama terdahulu, mereka dapat kokoh dalah prinsip mereka karena mereka usaha, tidak kenal lelah. Jikalau semua sudah instan, lalu apakah mendapatkan surga itu harus instan juga..?. Tidak.. semua mempunyai proses dan di sinilah Allah selalu menanti hamba-hamba-Nya untuk melalui jalan yang lurus, jalan yang diRahmati-Nya.

Hatimu adalah pengontrol jiwamu. Semua di kehidupan ini adalah bagaimana caranya kita mengontrol hati kita. Jika kita salah dalam mengntrol hati kita maka jiwa kitapun akan ikut salah. Jika hati kotor, jiwapun akan kotor dan jika hati kita bersih maka jiwapun akan bersih. Hati adalah tubuh kita dan jiwa adalah cermin kita. Jadi kesimpulannya, hati adalah seluruh tubuh kita dan jiwa adalah cermin yang menampakkan apa yang ia pantulkan. Ya benar.. tergantung yang dipantulkan.., yaitu hati kita sendiri..

Mencoba berbuat baik terkadang memang terasa sulit. Ada-ada saja yang menghalangi. Tapi inilah kehidupan, bagaimana kita bereaksi akan semua hal itu. Rasulullah saw saja tidak hanya diam untuk berda’wah. Beliau terus berusaha, karena beliau tahu semua tak akan jatuh dari langit secara gratis.
Inilah perjalanan hidup. Akupun pernah merasakan bagaimana terus melakukan kesalahan yang ketika itu dianggap enteng, tetapi sekarang merupakan kesalahan yang fatal. Tetapi bukankah juga percuma hanya melihat kebelakang dan menyesalinya tetapi hanya berdiam diri. Menyesali itu baik, tapi jangan kita keluarkan dengan kata-kata. Keluarkan penyesalan itu dengan gerakan, dengan ketaatan.

Semua orang mempunyai perjalan hidupnya masing-masing. Hmm… terkadang memang resah kalau memikirkan perbedaan pendapat diantara kita. Apalagi jika itu adalah seorang sahabat terdekat kita. Salah satu yang selalu membuat hati tenang adalah kesadaran bahwa semua telah diatur dan telah ditetapkan. Maksud perbedaan pendapat di sini adalah “terkadang kita merasa berbeda jalan yang kita ambil dengan jalan yang sahabat kita ambil.” Tenang saja semua bukan kita yang mengatur. Semua telah Allah swt atur. Maka bersabarlah

Ya.. itulah… “ itulah kehidupan “…
Rabu, 10 Agustus 2011

Doa tidak diterima?

Doa adalah ibadah paling afdhal, cara seorang hamba berhubung dengan Tuhannya Yang Maha Pencipta, Yang Menyahut seruan dan Memenuhi semua keperluan makhluk-Nya. Dia-lah tempat sekelian makhluk-Nya meminta. “Sekalian makhluk yang ada di langit dan di bumi sentiasa berhajat dan memohon kepadaNya. Tiap-tiap masa Ia di dalam urusan (mencipta dan mentadbirkan makhluk-makhlukNya)!” (Maksud Ar-Rahman:29)


Dia perintahkan hamba-Nya berdoa dan Dia berjanji akan memakbulkannya. Dia sangat murka kepada hamba yang enggan berdoa dan menganggap mereka sebagai orang yang sombong. “Dan Tuhan kamu berfirman: “Berdoalah kamu kepadaKu nescaya Aku perkenankan doa permohonan kamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong takbur daripada beribadat dan berdoa kepadaKu, akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Maksud Ghafir: 60)


Namun kadang-kadang ada orang yang merasakan doanya tidak diterima.
Apa sebabnya?


Ibrahim bin Adham pernah ditanya tentang kenapa kadang-kadang doa lambat diterima, pada hal Allah telah berjanji akan memakbul doa dan memerintahkan hamba-Nya berdoa?
Beliau menjawab:


Kerana hati kamu mati dengan 10 sebab:
1. Kamu mengenali Allah tetapi kamu tidak mentaati-Nya
2. Kamu mengenali Rasulullah tetapi kamu tidak mengikuti sunnahnya
3. Kamu mengenali al-Quran tetapi kamu tidak beramal dengan kandungannya
4. Kamu makan daripada ni’mat-ni’mat Allah tetapi kamu tidak bersyukur kepada-Nya
5. Kamu mengetahui tentang syurga tetapi kamu tidak mengejarnya
6. Kamu mengetahui tentang neraka tetapi kamu tidak lari darinya
7. Kamu kenal syaitan tetapi kamu tidak memeranginya, sebaliknya selalu bersetuju dengannya
8. Kamu mengetahui tentang mati tetapi kamu tidak bersedia untuk menghadapinya
9. Kamu kebumikan orang mati tetapi kamu tidak mengambil iktibar daripadanya
10. Kamu terbangun dari tidur, lalu kamu sibuk menghitung keaipan manusia dan kamu abaikan keaipan diri kamu sendiri.


Kamis, 04 Agustus 2011

Sifat 'Ibadurrahman, Berlindung dari Siksa Neraka

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sifat 'ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman adalah berlindung dari siksa neraka. Itulah yang mendorong seseorang itu untuk beramal agar terlindung dari siksa neraka. Ayat yang akan kita bahas kali ini menjadi dalil kelirunya keyakinan orang sufi bahwa tidak dikatakan ikhlas dalam beramal jika seseorang mengharap surga dan takut dari siksa neraka.
Allah Ta'ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66)
"Dan orang-orang yang berkata: "Ya Rabb kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. " (QS. Al Furqan: 65-66)
Siksa yang Amat Pedih di Jahannam
Yang dimaksudkan dengan 'ghoroma' (غَرَامًا ) dalam ayat di atas adalah adzab yang kekal, demikian kata Ibnu Katsir rahimahullah (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 10: 321).
Ibnul Jauzi berkata bahwa 'ghoroma' (غَرَامًا ) ada lima pendapat dalam hal ini yang pendapat-pendapat tersebut hampir sama maknanya. Ghoroma berarti:
1. Selamanya (دائماً ). Demikian diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri.
2. Siksa yang menyakitkan (موجِعاً ), diriwayatkan oleh Adh Dhohak dari Ibnu 'Abbas.
3. Siksa yang melelahkan (مُلِحّاً ). Demikian dikatakan oleh Ibnu As Saib.
4. Siksa yang membinasakan (هلاكاً ). Demikian disebutkan oleh Abu 'Ubaidah.
5. Secara bahasa berarti siksa yang amat pedih. Demikian disebutkan oleh Az Zujaj. (Zaadul Masiir, 6: 102)
Jahannam Sejelek-Jelek Tempat Tinggal
Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا 
"Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman." Yang dimaksud ayat ini bahwasanya jahannam adalah sejelek-jelek tempat menetap. (Zaadul Masiir, 6: 102 dan Tafsir Al Jalalain, 365). Dapat kita katakan bahwa jahannam adalah sejelek-jelek tempat tinggal (Tafsir Ath Thobari, 17: 496-497).
Berlindung dari Siksa Neraka
Jahannam adalah di antara nama neraka. Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa sifat orang beriman ('ibadurrahman), mereka berlindung dari siksa neraka atau siksa jahannam. Dan ayat ini sekaligus bantahan pada keyakinan orang sufi yang nyatakan bahwa orang yang beramal karena ingin surga dan takut neraka adalah orang yang tidak ikhlas. Justru kita katakan bahwa orang yang ikhlas adalah orang yang beramal demikian.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَطَلَبُ الْجَنَّةِ وَالِاسْتِعَاذَةِ مِنْ النَّارِ طَرِيقُ أَنْبِيَاءِ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَجَمِيعِ أَوْلِيَائِهِ السَّابِقِينَ الْمُقَرَّبِينَ وَأَصْحَابِ الْيَمِينِ
Meminta surga dan berlindung dari siksa neraka adalah jalan hidup para Nabi Allah, utusan Allah, seluruh wali Allah, ahli surga yang terdepan (as sabiqun al muqorrobun) dan ahli surga pertengahan (ash-habul yamin).” (Majmu' Al Fatawa, 10/701). Sebagai dalil penguat adalah berbagai dalil berikut ini.
Setelah menyebutkan berbagai kenikmatan di surga dalam surat Al Muthaffifin, Allah Ta'ala pun memerintah untuk berlomba-lomba meraihnya,
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ 
Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. ” (QS. Al Muthaffifin: 26). Bagaimana mungkin dikatakan tidak ikhlas, sedangkan kita sendiri diperintahkan oleh Allah untuk berlomba-lomba meraih surga?!
Sifat orang beriman adalah beribadah dengan khouf (takut) dan roja' (harap). Allah Ta'ala berfirman,

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. ” (QS. Al Israa': 57)
Allah Ta'ala berfirman,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191) رَبَّنَا إِنَّكَ مَنْ تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (192) رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آَمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآَمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ (193) رَبَّنَا وَآَتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ (194) 
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.   Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji. ” (QS. Ali Imron: 191-194). Demikian sifat ulil albab berlindung dari siksa neraka.
Di antara yang dikatakan oleh orang sufi adalah perkataan, “Jika aku beribadah pada Allah karena mengharap surga-Nya dan karena takut akan siksa neraka-Nya, maka aku adalah pekerja yang jelek. Tetapi aku hanya ingin beribadah karena cinta dan rindu pada-Nya.” Di antara yang mengatakan seperti ini adalah Robi'ah Al Adawiyah. Padahal Allah menceritakan mengenai Asiyah, istri Fir'aun yang beriman meminta pada Allah rumah di surga. Allah Ta'ala berfirman,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آَمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. ” (QS. At Tahrim: 11). Padahal Asiyah lebih utama dari Robi'ah Al Adawiyah, namun ia pun masih meminta pada Allah surga.
Nabi Ibrahim 'alaihis salam pun meminta surga. Sebagaimana do'a Nabi Ibrahim  -kholilullah/ kekasih Allah-,
وَاجْعَلْنِي مِنْ وَرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيمِ (85) وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ (86) وَلَا تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ
Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.” (QS. Asy Syu'ara: 85-87)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pun meminta surga. Dari Abu Sholih, dari beberapa sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada seseorang, “Do'a apa yang engkau baca di dalam shalat?”
أَتَشَهَّدُ وَأَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ أَمَا إِنِّى لاَ أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلاَ دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ
Aku membaca tahiyyat, lalu aku ucapkan 'Allahumma inni as-alukal jannah wa a'udzu bika minannar' (aku memohon pada-Mu surga dan aku berlindung dari siksa neraka). Aku sendiri tidak mengetahui kalau engkau mendengungkannya begitu pula Mu'adz”, jawab orang tersebut. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Kami sendiri memohon surga (atau berlindung dari neraka).” (HR. Abu Daud no. 792, Ibnu Majah no. 910, dan Ahmad (3/474). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Lalu adakah yang berani katakan bahwa nabinya sendiri tidak ikhlas?
Tanggapan dari Ibnu Taimiyah
Mengenai perkataan sebagian sufi,
لَمْ أَعْبُدْكَ شَوْقًا إلَى جَنَّتِكَ وَلَا خَوْفًا مِنْ نَارِكَ
Aku tidaklah beribadah pada-Mu karena menginginkan surga-Mu dan takut pada neraka-Mu”, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah memberikan jawaban,
“Perkataan ini muncul karena sangkaannya bahwa surga sekedar nama tempat yang akan diperoleh berbagai macam nikmat. Sedangkan neraka adalah nama tempat yang mana makhluk akan mendapat siksa di dalamnya. Ini termasuk mendeskreditkan dan meremehkan yang dilakukan oleh mereka-mereka karena salah paham dengan kenikmatan surga. Kenikmatan di surga adalah segala sesuatu yang dijanjikan kepada wali-wali Allah dan juga termasuk kenikmatan karena melihat Allah. Yang terakhir ini juga termasuk kenikmatan di surga. Oleh karenanya, makhluk Allah yang paling mulia selalu meminta surga pada Allah dan selalu berlindung dari siksa neraka.” (Majmu' Al Fatawa, 10/240-241)
Melihat wajah Allah di akhirat kelak, itulah kenikmatan yang paling besar dan istimewa dari kenikmatan lainnya. Dari Shuhaib, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ - قَالَ - يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ - قَالَ - فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ ».
Jika penduduk surga memasuki surga, Allah Ta'ala pun mengatakan pada mereka, “Apakah kalian ingin sesuatu sebagai tambahan untuk kalian?” “Bukankah engkau telah membuat wajah kami menjadi berseri, telah memasukkan kami ke dalam surga dan membebaskan kami dari siksa neraka?”, tanya penduduk surga tadi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah pun membuka hijab (tirai). Maka mereka tidak pernah diberi nikmat yang begitu mereka suka dibanding dengan nikmat melihat wajah Rabb mereka 'azza wa jalla.” (HR. Muslim no. 181)
Kalimat Simpulan
Yang namanya ikhlas adalah seseorang beramal dengan mengharap segala apa yang ada di sisi Allah, yaitu mengharap surga dengan segala kenikmatannya (baik bidadari, berbagai buah, sungai di surga, rumah di surga, dsb), termasuk pula dalam hal ini adalah ingin melihat Allah di akhirat kelak. Begitu pula yang namanya ikhlas adalah seseorang beribadah karena takut akan siksa neraka. Inilah yang namanya ikhlas.
Jika seseorang tidak memiliki harapan untuk meraih surga dan takut akan neraka, maka semangatnya dalam beramalnya pun jadi lemah. Namun jika seseorang dalam beramal selalu ingin mengharapkan surga dan takut akan siksa neraka, maka ia pun akan semakin semangat untuk beramal dan usahanya pun akan ia maksimalkan.
Demikian bahasan sederhana mengenai tafsiran tentang sifat 'ibadurrahman. Sifat lainnya akan dilanjutkan pada bahasan berikutnya dengan izin Allah.
Wallahu waliyyut taufiq.

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

Panggang-Gunung Kidul, 3 Ramadhan 1432 H (03/08/2011)
www.rumaysho.com

Updates Via E-Mail

Terimakasih telah mengunjungi blog ini. Semoga semua ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Bermanfaat untuk Dunia dan Akhirat..

Jika ada saran dan masukannya atau ada yang ingin pembaca koreksi harap di kirim melalui page facebook kami

Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyampaian kami di blog ini..

terimakasih